dakwatuna.com - Sore hari itu aku sedang berada di rumah, dengan kebiasaanku untuk membaca buku disela waktu senggangku. Nada SMS terdengar dari HP ku, sms dari Mbak Vira, ku baca isi pesan singkat tersebut “Na, ikutan belajar Fiqih yuk, besok pagi di rumah akh Farid. ikut ya!!.”
Lantas kujawab “siapa yang ngajar mbak?.”
“Liat aja besok”
“Iya mbak, insya Allah”, jawabku.
Keesokan paginya, aku bersiap-siap untuk memenuhi janjiku mengikuti belajar Fiqih. Sesampainya di rumah akh Farid banyak wajah orang yang tidak ku kenal, karena memang aku orang baru di kota ini. Ustadz Yusran yang mengajar sangat bagus menurutku, beliau menguasai ilmu Fiqih dengan baik. Aku mengikuti proses belajar saat ini dengan baik, semua berjalan apa adanya. Setelah selesai belajar aku pun langsung pulang ke rumah. Pada sore harinya, sms mbak Vira masuk kembali ke HP ku,
“Bagaimana tadi dek?”.
Aku pun membalas “apanya mbak?”
“Bagaimana ustadznya tadi?” balasnya.
“Bagus koq mbak, beliau sangat menguasainya”
Mbak vira menjawab “Jadi bagaimana?”
Tanda tanya besar ada di kepalaku, lirih dalam hatiku “apa maksudnya??”
Tiba-tiba aku termenung dan teringat dengan pernyataan mbak Vira beberapa hari lalu yang ingin menjodohkanku dengan seorang ustadz. Aku pun mulai mengerti arah pikiran mbak Vira.
Hari pun terus berjalan, aktivitas belajar Fiqih tersebut pun terus berjalan dengan lancar walau aku merasa gak safe karena proses perjodohan itu tidak berjalan semestinya, hanya ada wacana kemauan untuk menikah tapi selalu tidak jelas apa yang membuat kemauan itu berakhir dengan kata ketidaksiapan. Semua ini berjalan dalam waktu yang relatif lama, hingga aku pun enjoy dengan semua ini. Interaksi kami sebagai satu tim belajar begitu dekat dan akhirnya rasa cinta itu lahir pada diriku, cinta yang tak tepat karena ia lahir sebelum adanya komitmen kami di depan Allah. Mbak Vira dan suaminya pun terus mengusahakan perjodohan kami.
Ketika aku tersadar akan adanya rasa tersebut, aku pun merasa sangat bersalah. Aku hanya ingin kepastian. Aku sungguh-sungguh berdoa, meminta kepadaNya agar menghadirkan jawaban untuk kepastian akan semua hal ini. Akhirnya satu jawaban dari Allah aku dapatkan, walau berat dari banyak sisi hidupku. Pagi itu aku di panggil atasanku untuk menghadapnya, aku sempat bingung apa salah yang ku perbuat. Pada saat itu atasanku menyampaikan bahwa Aku dipromosikan naik menjadi Kepala Divisi di perusahaanku tapi untuk kantor cabang yang jauh dari kota ini. Aku cukup terkejut dengan hal ini, setelah ku pertimbangkan bersama keluarga besarku aku pun mengambil keputusan untuk menerima Promosi ini, walau berat harus berpisah dengan keluarga dan banyak hal yang telah ku tekuni selama ini. Dan inilah yang ku anggap sebagai Jawaban terbaik dariNya, untuk ketidakpastian yang terjadi selama ini.
Hari-hari baru ku jalani di tempat baru ini, semua ku usahakan dari awal karena aku sendirian di sini. Banyak orang baru yang ku temui, ku coba satu persatu aku jadikan sebagai saudara dan sahabatku karena aku tak memiliki siapapun di sini. Sahabat pun aku dapatkan namanya mbak Siska, baik dan shalih dua sifat yang ku andalkan tuk ku jadikan alasan memilihnya sebagai sahabatku. Ia baik dan sangat mengerti cara berpikirku. Suatu hari mbak Siska menawarkan aku untuk berkenalan (ta’aruf) dengan seorang ikhwan, beliau berharap aku bisa menikah dan menetap di kota ini seterusnya. Aku menanggapi baik niat mbak Siska tersebut. Aku pun di pertemukan dengan ikhwan tersebut, perkenalan pun berjalan sebagaimana mestinya. Namun apa yang kupikirkan di luar prediksi mbak Siska. Ia bertanya
“Bagaimana nana? Cocok?”
“Maaf mbak, nana kurang sreg”, jawabku.
“Gak sreg apanya?”, tanya mbak Siska.
Aku pun terdiam tak bisa menjawab pertanyaan tersebut.
Sesampainya di rumah aku pun terus berpikir dan mencoba merenungi apa yang sebenarnya terjadi. Mengapa aku menjadi susah mengambil keputusan. Mengapa selalu saja wajah dan kepribadian Ustadz Yusran yang menjadi pembanding ketika aku ingin mengambil keputusan lebih jauh. Aku pun mulai menyadari penyakit hati masih terus bersemayam dalam hatiku, rasa yang harusnya ku redam dan hilangkan karena ia merupakan rasa yang tepat. Aku pun terus memohon ampun kepada Allah dan aku pun meminta jalan keluar dari masalah ini. Aku tak ingin terus berada ‘keterpurukan’, karena aku pahami tak selamanya manusia hidup atas kemauannya tapi kehendak Allah adalah kepastian dan hal yang terbaik untuk hambanya.
Allah pun menjawab gundah hatiku, tiba-tiba suatu pagi aku dipanggil untuk bertemu Pimpinan Kantor cabang, beliau menyatakan karena di Kantor Pusat kekurangan tenaga Kepala Divisi, aku diminta kembali lagi ke Kantor Pusat untuk mengisi kekosongan tersebut. Betapa senangnya aku mendapatkan kabar gembira ini, aku bisa berkumpul dengan keluarga dan sahabat-sahabatku lagi, menekuni banyak kegiatan yang telah ku rintis dulu. Senang rasanya.
Namun tiba-tiba aku termenung bagaimana proses ta’arufku bersama ihsan? Apakah ini jalan untuk mempertemukan aku lagi dengan Ustadz Yusran? Apa yang sedang Allah rekayasa untuk hidupku? Semua pertanyaan tersebut hadir dalam pikiranku.
Keesokan harinya aku bertemu mbak Siska, aku sampaikan tentang rencana kepindahanku dan bagaimana dengan Ihsan karena aku bersedia untuk melanjutkan proses ta’aruf ini. Mbak Siska pun menanyakan ke suaminya untuk mengetahui bagaimana keputusan ihsan. Hasilnya Ihsan yang menyatakan ketidaksiapan, karena di kota ini dia memiliki amanah yang banyak, amanah dakwah dan keluarga, ia tidak siap untuk pindah dan tak mau menghalangiku berkumpul dengan semua keluargaku di kota tersebut. Finally, satu jawaban ku dapatkan dari pertanyaan yang selalu hadir di pikiranku.
Hari itu pun tiba, aku kembali. Aku kembali menekuni begitu banyak aktivitas ku bersama keluarga dan sahabatku. Termasuk komunitas Fiqih yang pernah ku tinggalkan. Entah apa yang ku pikirkan, ingin kembali pada masalah yang sama atau mau mencari masalah baru lagi, ketika aku kembali berinteraksi dengan Ustadz Yusran. Ternyata Mbak Vira tak menyerah, masih saja ingin menjodohkan aku dengan Ustadz Yusran. Tapi kali ini aku tak meresponnya. Aku ingin penyakit hati yang sudah ku redam dan hapus itu tidak kambuh dan datang lagi. Hanya itu, walau rasanya semua begitu berat. Aku hanya memohon rahmatNya untuk memberikan aku jalan keluar terbaik.
Allah pun membahagiakanku, dengan rencanaNya yang sangat indah. Pagi itu aku ke kantor seperti biasa, tiba-tiba aku bertemu Alfan teman kecilku yang sudah lama tak bertemu dan dipertemukan lagi di kota ini. Senang rasanya, bersama sahabatku Desy, aku ajak Alfan makan dan bernostalgia masa kecil kami. Senang rasanya, hari itu begitu menyenangkan. Sebulan pun berlalu tanpa adanya komunikasi antara aku dan Alfan. Tiba-tiba Alfan datang ke orang tuaku mengutarakan maksudnya untuk melamarku, Ayah pun bertanya bagaimana pendapatku. Aku tak siap untuk berpikir panjang, karena aku takut tiba-tiba aku membandingkan Alfan dengan Ustadz Yusran lagi. Aku pun hanya mengatakan “Ayah, seorang suami itu akan menggantikan tanggungjawab seorang ayah bagi anak perempuannya. Kalau ayah yakin bahwa dia adalah laki-laki baik yang siap pundaknya menanggung tanggungjawab ayah selama ini atas Nana, maka terimalah lamarannya. Insya Allah Nana pun yakin Allah dan Ayah memilihkan suami yang terbaik buat Nana, suami yang siap menjaga Nana dan membersamai Nana menuju Ridha dan CintaNya” ayah pun tersenyum. Dan pertemuan keluarga pun terjadi dengan melibatkan para Ustadz dan Ustadzah yang dekat denganku dan Alfan, aku pun di khitbah oleh Alfan. Hasil rapat keluarga pernikahan kami akan dilangsungkan 2 minggu setelah proses khitbah ini. Begitu cepat rasanya, tapi inilah kemudahan dari Allah pikirku.
Aku pun ke rumah mbak Vira untuk silaturahim dan memberikan undangan pernikahanku untuk beliau dan keluarganya serta undangan untuk Ustadz Yusran, karena semua begitu cepat aku pun tak pernah menceritakan perihal pernikahanku kepada mbak Vira. Sebelum aku mengutarakan maksudku, mbak Vira sudah berceloteh panjang, termasuk masalah ustadz Yusran “Na, berbahagialah kamu. Tadi malam mbak dan suami menanyakan kembali tentang kesiapan Ustadz Yusran untuk menikahimu adikku, ya dia bilang siap Insya Allah. Malah si Ustadz bilang atur saja kapan kita akan silaturahim ke rumahnya, untuk bertemu keluarganya” dengan wajah berseri-seri mbak Vira bercerita. Aku pun hanya terdiam, berpikir apakah semua ini benar. Rasa yang pernah ada dulu terjawab dengan niatnya untuk menikahiku. Tiba-tiba aku begitu pusing, bagaimana dengan ini semua? Tiba-tiba aku teringat bahwa aku menyadari rasa cintaku yang dulu pernah ada itu adalah sebuah kesalahan. Komitmenku sekarang “Mencintai siapa yang menikahiku bukan menikah karena mencintai seseorang” Karena mencintai seseorang sebelum adanya Ijab Qabul adalah kesalahan. Ku yakinkan diri, Alfan adalah Pilihan terbaik dari Allah untukku.
“Na, koq diam?” mbak Vira memecah lamunanku.
Dengan tersenyum aku katakan “Nggak apa-apa, koq mbak”.
Aku pun langsung mengutarakan maksud kedatanganku “Mbak maaf ya aku nggak sempat cerita apa-apa, insya Allah ahad ini Nana nikah mbak. Ini undangan buat Mbak dan keluarga, Nana juga nitip ini yah, undangan buat Ustadz Yusran dan teman-teman komunitas Fiqih lainnya, salam ya mbak untuk teman-teman semua”.
Mbak Vira begitu terkejut. Aku menyalami dan memeluknya, kubisikkan ia sesuatu,
“Mbak Jazakillah khairan atas semuanya, selalu doakan Nana ya mbak. Semoga ini adalah yang terbaik bagi Nana dan semua.”
Tak terasa air mataku mengalir dan seberkas senyum pun aku sampaikan. Aku pamit dari rumah mbak Vira, meninggalkannya dengan wajah yang bingung. Dalam hatiku berkata “Tak perlu bingung, inilah Keputusan Allah”.
Sumber: http://www.dakwatuna.com/2012/08/17/22355/cintai-siapa-yang-menikahimu/#ixzz2ZXyHM0pb
Follow us: @dakwatuna on Twitter | dakwatunacom on Facebook
0 komentar:
Posting Komentar